-->

Sabtu, 19 April 2014

Bertaruh nyawa memburu tikus

Tatapan kosong masih sering terlihat di wajah Kuntini. Perempuan muda dengan satu anak itu masih tak terima Jono, suaminya, harus tewas tersengat kawat “setrum tikus” di sawahnya.  Jono menjadi petani kesekian yang menjadi korban dari usaha petani desa Tobong untuk membasmi hama tikus sawah yang menyerang padi mereka belakangan ini. Beragam pendapat berkembang mengenai penyebab banyaknya tikus di desa yang berada di lembah Pegunungan Kendeng Utara ini, mulai dari kemalasan petani membasmi tikus sampai dengan adanya kekuatan gaib yang mengganggu desa. Kini petani dipaksa untuk cerdik mengeluarkan modal dan tenaga membasmi hewan pengerat ini.

Tikus sawah, atau yang dalam bahasa ilmiah disebut dengan Rattus Argiventer, menjadi hama yang sangat berbahaya bagi pertanian. Setidaknya 17 persen hasil panen padi di Indonesia menjadi santapan hewan gesit ini. Menurut informasi yang dipublikasikan oleh Departemen Pertanian dijelaskan bahwa tikus sawah menjadi hama pra-panen utama penyebab kerusakan terbesar tanaman padi, terutama pada agroekosistem daratan rendah dengan pola tanam intensif (bersambung) (Sumber:bbpadi.litbang.deptan.go.id). Informasi ini dibenarkan oleh beberapa petani desa Tobong yang sempat ngobrol dengan penulis. Sebut saja Raos, ayah dua anak yang menggarap sawah seluas seperempat hektar ini mengaku harus setiap hari berburu tikus di sawahnya. “Sekarang memang perang dengan tikus, Mas. Kalau malas membasmi tikus ya bisa-bisa kami tidak akan panen,” katanya pada suatu siang di rumahnya.

Masa setelah tanam yang dulu digunakan Raos dan petani di desa Tobong untuk mencari kerja di luar pertanian kini diisi dengan berburu tikus. Tak jarang mereka harus menjaga sawahnya hingga menjelang panen karena hewan berbulu coklat ini merusak tanaman padi pada semua stadia (tahap) pertumbuhan padi. Dulu berburu tikus secara manual (gropyok) sempat menjadi pilihan petani desa Tobong. Mereka beramai-ramai memburu tikus di liang persembunyian yang tersebar di pinggiran tanggul yang memisahkan sawah dengan sungai. Cara ini dinilai ampuh mengendalikan serangan tikus, hingga ditemukan cara yang dianggap lebih hemat tenaga, “setrum tikus”.

“Setrum tikus” merupakan rangkaian instalasi listrik sederhana yang biasa dibuat oleh petani dengan teknik a la  mereka sendiri. Setrum tikus ini dirancang agar tikus tidak bisa masuk ke lahan karena akan mati tersengat aliran listrik bertegangan tinggi.  Sebuah generator set (genset) dengan daya 900 VA menjadi penyedia daya bagi rangkaian ini. Kemudian sebuah stop kontak menghubungkannya dengan untaian kawat yang telah dipasang mengelilingi sawah. Untuk menghindari agar tidak terjadi konsleting karena kawat menyentuh air di permukaan tanah, maka dibuatlah tiang pancang dari bilah bambu setinggi 10 – 30 centimeter. Narwi, salah seorang warga desa Tobong, menceritakan bagaimana ia harus membelanjakan dua juta rupiah uang hasil panennya untuk memasang “strum tikus” ini. “Biarpun sudah dipasang begini ya belum bisa diharapkan bisa panen,” katanya pasrah.

Petani desa Tobong biasa menyalakan setrum tikus sejak matahari terbenam hingga pagi hari karena serangan tikus banyak terjadi pada saat malam. Untuk mengoperasikan setrum tikus ini setiap hari Narwi harus membelanjakan sepuluh ribu rupiah untuk membeli dua liter bensin. Dengan pengetahuan kelistrikan dan sistem pengamanan yang minim, jelas mengalirkan listrik tegangan tinggi di sekeliling sawah sangatlah berbahaya. Pemasangan aliran listrik di sekeliling sawah ini sangat beresiko karena seringnya hewan peliharaan atau manusia yang lalu lalang di sawah. Untuk memberi peringatan bahwa di petak sawah telah dipasang aliran listrik, Narwi  memasang lampu bohlam kecil di tiap tiang bambu tempat ia melilitkan kawat. “Kalau ke sawah malam hari itu ya mirip kota Mas, banyak lampu-lampu,” kata Narwi sambil tersenyum getir.

Tak cukup dengan aliran listrik tegangan tinggi, petani yang memiliki modal cukup besar memilih untuk mengelilingi sawahnya dengan pagar seng setinggi 30 cm. Pagar yang cukup kuat ini menjadi tembok pertama yang harus dihadapi tikus sebelum menghadapi “setrum listrik” yang dipasang dibalik seng. Dibutuhkan dana jutaan untuk memasang sang di sekeliling sawah. Bagi petani dengan modal kecil, cara ini jelas bukan merupakan sebuah pilihan. Sampai saat ini benteng seng terbilang sukses menjaga padi dari serangan tikus. Namun beberapa petani yang sawahnya bersebelahan dengan sawah berpagar seng ini harus menerima akibatnya karena tikus semakin ganas mengunyah batang padi mereka.

Julukan tikus sebagai hewan cerdik dibuktikan sendiri oleh Karno. Ia heran bagaimana mungkin sawah yang dipagari seng dan dipasang “setrum tikus” masih saja terkena serangan tikus. Hingga suatu saat ketika ia melihat seekor tikus dengan cerdik melakukan ancang-ancang, berlari dan kemudian “terbang” melompati pagar seng. Tak heran, petani yang sudah membuat pagar seng dilapisi “strum listrik” pun masih kecolongan. Penyusup berbulu coklat ini menjadi semakin banyak ketika populasinya sedang berada pada kondisi puncak. Dalam satu musim tanam, satu ekor tikus betina mampu melahirkan hingga delapan puluh ekor tikus, tergantung suplai makanan yang tersedia di sawah.

Perburuan tikus kembali dilanjutkan, kali ini dengan menggunakan senapan angin. Bagi petani yang tidak memiliki anjing seperti Raos, senapan angin merupakan teman pilihan untuk menemani mereka berburu tikus. Tak perlu mahir mengarahkan pucuk senapan untuk membidik sasaran karena senapan yang dibeli juga dilengkapi dengan lampu laser untuk membidik sasaran dari sudut manapun. “Setiap hari bisa mendapatkan 50-an tikus mas. Tergantung berapa banyak peluru yang kita bawa,” papar Kusdi. Bahkan agar suaranya tidak terlalu bising, senapan juga dilengkapi dengan peredam/silencer. Senapan angin dengan harga enam ratus ribu hingga satu juta rupiah menjadi barang lumrah yang dimiliki petani di desa Tobong.

Banyak cara telah dilakukan tetapi tikus tetap saja merajalela. Sebagian petani meyakini bahwa banyaknya tikus ini juga karena pengaruh kekuatan gaib. “Tikus idu ada yang momong, “ kata Parmo suatu hari. Ia pernah mendengar cerita dari seorang tetanggaa yang melihat tikus jatuh dari langit dengan ekor yang saling melilit satu sama lain dalam kelompok kecil sekitar lima sampai sepuluh ekor. Bahkan tersiar pula kabar ada seorang tetangga yang melihat seekor tikus sebesar kambing dewasa dikawal ribuan tikus melintas di pematang sawah. Untuk menangkal kekuatan jahat ini, Parmo dan beberapa petani desa Tobong melakukan ritual nyiwer atau memberi makan danyang di sawah mereka dengan sesajen. “Kalau memang itu sudah ada yang momong, kita hanya ingin bilang “mbok ya kita ini juga diberi bagian. Jangan semuanya dihabiskan”,” kata Parmo.

Menyadari tak banyak cara untuk mengatasi berkembang biaknya tikus di sawah mereka, petani desa Tobong memilih kembali membasmi tikus dengan cara gropyok. Kini setiap tiga hari sekali tanggul di pinggir sawah menjadi arena perburuan tikus yang ramai. Puluhan petani dengan membawa sabit, cangkul dan kayu memburu tikus yang telah keluar dari liang persembunyian.  Sekali lagi, solidaritas antar petani menjadi senjata paling ampuh untuk melindungi padi dari serangan tikus dibandingkan seng, listrik ataupun senapan.

Penulis: Mokh Sobirin (Peneliti Desantara Foundation)

Show comments
Hide comments
Tidak ada komentar:
Write comment

Latest News

Back to Top